Sejarah Arsitek
Arsitektur lahir dari dinamika antara kebutuhan
(kebutuhan kondisi lingkungan yang kondusif, keamanan, dsb), dan cara (bahan
bangunan yang tersedia dan teknologi konstruksi).
Arsitektur prasejarah dan primitif merupakan tahap awal dinamika ini. Kemudian
manusia menjadi lebih maju dan pengetahuan mulai terbentuk melalui tradisi
lisan dan praktik-praktik, arsitektur berkembang menjadi ketrampilan. Pada tahap ini
lah terdapat proses uji coba, improvisasi, atau peniruan sehingga menjadi hasil
yang sukses. Seorang arsitek saat itu bukanlah seorang figur penting, ia
semata-mata melanjutkan tradisi. Arsitektur Vernakular lahir dari pendekatan
yang demikian dan hingga kini masih dilakukan di banyak bagian dunia.
Permukiman manusia pada masa lalu pada dasarnya
bersifat rural.
Kemudian timbullah surplus produksi, sehingga masyarakat rural berkembang
menjadi masyarakat urban.
Kompleksitas bangunan
dan tipologinya pun meningkat. Teknologi pembangunan fasilitas umum seperti
jalan dan jembatan pun berkembang. Tipologi bangunan baru
seperti sekolah, rumah sakit, dan sarana rekreasi pun bermunculan. Arsitektur
Religius tetap menjadi bagian penting di dalam masyarakat. Gaya-gaya arsitektur
berkembang, dan karya tulis mengenai arsitektur mulai bermunculan. Karya-karya
tulis tersebut menjadi kumpulan aturan (kanon) untuk diikuti
khususnya dalam pembangunan arsitektur religius. Contoh kanon ini antara lain
adalah karya-karya tulis oleh Vitruvius, atau Vaastu Shastra dari India purba. Di
periode Klasik
dan Abad Pertengahan Eropa, bangunan
bukanlah hasil karya arsitek-arsitek individual, tetapi asosiasi profesi (guild) dibentuk oleh para artisan /
ahli keterampilan bangunan untuk mengorganisasi proyek.
Pada masa Pencerahan,
humaniora dan penekanan terhadap individual menjadi lebih penting daripada
agama, dan menjadi awal yang baru dalam arsitektur. Pembangunan ditugaskan
kepada arsitek-arsitek individual - Michaelangelo,
Brunelleschi, Leonardo
da Vinci - dan kultus individu pun dimulai. Namun pada saat itu, tidak ada
pembagian tugas yang jelas antara seniman, arsitek, maupun insinyur atau
bidang-bidang kerja lain yang berhubungan. Pada tahap ini, seorang seniman pun
dapat merancang jembatan karena penghitungan struktur di dalamnya masih
bersifat umum.
Bersamaan dengan penggabungan pengetahuan dari
berbagai bidang ilmu (misalnya engineering), dan munculnya
bahan-bahan bangunan
baru serta teknologi, seorang arsitek menggeser fokusnya dari aspek teknis bangunan
menuju ke estetika.
Kemudian bermunculanlah "arsitek priyayi" yang biasanya berurusan
dengan bouwheer (klien)kaya dan berkonsentrasi pada unsur visual dalam bentuk
yang merujuk pada contoh-contoh historis. Pada abad ke-19, École des Beaux-Artsdi Prancis melatih calon-calon arsitek menciptakan sketsa-sketsa dan gambar
cantik tanpa menekankan konteksnya.
Sementara itu, Revolusi
Industri membuka pintu untuk konsumsi umum, sehingga estetika menjadi
ukuran yang dapat dicapai bahkan oleh kelas menengah. Dulunya produk-produk
berornamen estetis terbatas dalam lingkup keterampilan yang mahal, menjadi
terjangkau melalui produksi massal. Produk-produk sedemikian tidaklah memiliki
keindahan dan kejujuran dalam ekspresi dari sebuah proses produksi.
Ketidakpuasan terhadap situasi sedemikian padaawal abad ke-20 melahirkan pemikiran-pemikiran yang mendasari Arsitektur Moderen,
antara lain, Deutscher Werkbund
(dibentuk 1907) yang memproduksi objek-objek buatan mesin dengan kualitas yang
lebih baik merupakan titik lahirnya profesi dalam bidang desain
industri. Setelah itu, sekolah Bauhaus
(dibentuk di Jerman tahun 1919) menolak masa lalu sejarah dan memilih melihat
arsitektur sebagai sintesis seni, ketrampilan, dan teknologi.
Ketika Arsitektur Modern mulai dipraktikkan, ia
adalah sebuah pergerakan garda depan dengan dasar
moral, filosofis, dan estetis. Kebenaran dicari dengan menolak sejarah dan
menoleh kepada fungsi yang melahirkan bentuk. Arsitek lantas menjadi figur
penting dan dijuluki sebagai "master". Kemudian arsitektur modern
masuk ke dalam lingkup produksi masal karena kesederhanaannya dan faktor
ekonomi.
Namun, masyarakat umum merasakan adanya penurunan
mutu dalam arsitektur modern pada tahun 1960-an, antara
lain karena kekurangan makna, kemandulan, keburukan, keseragaman, serta
dampak-dampak psikologisnya. Sebagian arsitek menjawabnya melalui Arsitektur Post-Modern
dengan usaha membentuk arsitektur yang lebih dapat diterima umum pada tingkat
visual, meski dengan mengorbankan kedalamannya. Robert Venturi berpendapat
bahwa "gubuk berhias / decorated shed" (bangunan biasa
yang interior-nya dirancang secara fungsional sementara eksterior-nya diberi
hiasan) adalah lebih baik daripada sebuah "bebek / duck" (bangunan di
mana baik bentuk dan fungsinya menjadi satu). Pendapat Venturi ini menjadi
dasar pendekatan Arsitektur Post-Modern.
Sebagian arsitek lain (dan juga non-arsitek)
menjawab dengan menunjukkan apa yang mereka pikir sebagai akar masalahnya.
Mereka merasa bahwa arsitektur bukanlah perburuan filosofis atau estetis
pribadi oleh perorangan, melainkan arsitektur haruslah mempertimbangkan
kebutuhan manusia sehari-hari dan menggunakan teknologi untuk mencapai
lingkungan yang dapat di tempati. Design MethodologyMovement yang melibatkan orang-orang seperti Chris Jones atau Christopher Alexandermulai mencari proses yang lebih inklusif dalam perancangan, untuk mendapatkan
hasil yang lebih baik. Peneilitian mendalam dalam berbagai bidang seperti perilaku,
lingkungan, dan humaniora dilakukan untuk menjadi dasar proses perancangan.
Bersamaan dengan meningkatnya kompleksitas bangunan,arsitektur
menjadi lebih multi-disiplin daripada sebelumnya. Arsitektur sekarang ini
membutuhkan sekumpulan profesional dalam pengerjaannya. Inilah keadaan profesi
arsitek sekarang ini. Namun, arsitek individu masih disukai dan dicari dalam
perancangan bangunan
yang bermakna simbol budaya. Contohnya, sebuah museum senirupa menjadi lahan
eksperimentasi gaya dekonstruktivis sekarang
ini, namun esok hari mungkin sesuatu yang lain.
bangunan adalah produksi manusia yang paling kasat mata. Namun, kebanyakan bangunan
masih dirancang oleh masyarakat sendiri atau tukang-tukang batu di
negara-negara berkembang, atau melalui standar produksi di negara-negara
maju. Arsitek tetaplah tersisih dalam produksi bangunan. Keahlian arsitek hanya dicari dalam pembangunan tipe bangunan yang rumit, atau bangunan
yang memiliki makna budaya / politis yang penting. Dan inilah yang
diterima oleh masyarakat umum sebagai arsitektur. Peran arsitek, meski
senantiasa berubah, tidak pernah menjadi yang utama dan tidak pernah
berdiri sendiri. Selalu akan ada dialog antara masyarakat dengan sang
arsitek. Dan hasilnya adalah sebuah dialog yang dapat dijuluki sebagai
arsitektur, sebagai sebuah produk dan sebuah disiplin ilmu.