Masa Perang Revolusi
Soekarno
bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Sembilan
(yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal
Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada
tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para
pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta
Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana,
Singgih serta Chairul Saleh.
Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan.
Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum
tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan
menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang.
Alasan lain yang
berkembang adalah Soekarno menetapkan momen tepat untuk kemerdekaan Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan
dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan
bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh
PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada
tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden
dikukuhkan oleh KNIP.
Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan
tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada tempat 200.000 rakyat
Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata
lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang
dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya
mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto
setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden
Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat
provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu
(di bawah Inggris), meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya
dan gugurnya Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby. Karena banyak provokasi di
Jakarta
pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik
Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan
pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan, sistem pemerintahan berubah menjadi semi presidensiil atau double executive.
Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai
Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya
maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November
1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia
dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan,
kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam
menghadapi Peristiwa Madiun 1948
serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden
Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi
negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara,
tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri
tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang
sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa
Indonesia-Belanda.
Lihat Juga:
Terima kasih telah membaca artikel mengenai Masa Perang Revolusi, semoga apa yang saya bagikan ini bermanfaat
buat anda, dan terima kasih pula tela berkunjung di
LingkaranDunia Akostader/http://amirakostader.blogspot.co.id/