BAB I
PENDAHULUAN
1.1 1atar Belakang
Teknik tertua yang dikenal pada pemurnian air
adalah proses Klarifikasi. Proses ini digunakan untuk mengolah air permukaan
terutama untuk menghilangkan padatan tersuspensi kasar maupun halus termasuk
partikel koloid.
Proses klarifikasi mencakup
proses-proses koagulasi, flokulasi dan sedimentasi. Proses koagulasi merupakan
suatu penambahan beban kimia atau koagulan tertentu ke dalam air yang disertai
dengan pengadukan cepat sehingga trerbentuk flok partikel koloid yang sangat
halus. Flok–flok halus tersebut selanjutnya mengalami proses flokulasi. Dalam
proses ini, flok-flok halus akan membentuk. Flok yang lebih besar. Proses
pemisahan flok–flok itu dapat dilakukan dengan cara sedimentasi.
Sedimentasi (pengendapan) merupakan
salah satu cara pemisahan padatan yang tersuspensi dalam suatu cairan dimana
akan terjadi peristiwa turunya partikel–partikel padat yang semula tersebar
atau tersuspensi dalam cairan karena adanya gaya berat atau gaya grafitasi,
tetapi Selama proses sedimentasi ini berlangsung, terdapat tiga gaya yang
berpengaruh
a. Gaya
Grafitasi
b. Gaya Apung
c. Gaya dorong. (Tim
lab OTK 1, 2016)
1.2 Tujuan Percobaan
1.
Membuat grafik hubungan
kecepatan sedimentasi (Vs) dengan konsentrasi suspensi (Cs) berdasarkan data
percobaan sedimentasi secara batch.
2.
Menetukan kecepatan sedimentasi
berdasarkan perbedaan koagulan.
1.3 Batasan
Masalah
Membuat grafik hubungan kecepatan sedimentasi (Vs) dengan
konsentrasi suspensi (Cs) CaCO3 250 gr berdasarkan data percobaan
sedimetasi secara batch, serta
menentukan kecepatan sedimentasi berdasarkan perbedaan koagulan, yaitu : NaOH
dan H2SO4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian sedimentasi
Sedimentasi adalah pemisahan solid-liquid menggunakan pengendapan
secara gravitasi untuk menyisihkan suspensi solid.
Pada umumnya sedimentasi digunakan pada pengolahan air minum, pengolahan air
limbah, dan pada pengolahan air limbah tingkat lanjutan. Pada pengolahan air
minum, terapan sedimen khususnya untuk :
a)
Pengendapan air permukaan,
khususnya untuk pengolahan dengan filter pasir cepat.
b)
Pengendapan flok hasil
koagulasi-flokulasi, khususnya sebelum disaring dengan filter pasir cepat.
c)
Pengendapan flok hasil
penurunan kesadahan menggunakan soda kapur.
d)
Pengendapan lumpur pada
penyisihan besi dan mangan.
Pada pengolahan air limbah, sedimentasi umumnya
digunakan untuk :
a)
Penyisihan grit, pasir, atau
silt (lanau).
b)
Penyisihan padatan tersuspensi
pada clarifier pertama.
c)
Penyisihan flok/ lumpur
biologis hasil proses active sludge
pada clarifier akhir.
d)
Penyisihan humus pada clarifier akhir setelah trickling filter.
Pengendapan dapat dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi.Cara
yang sederhana adalah dengan membiarkan padatan mengendap dengan sendirinya.
Setelah partikel- partikel mengendap maka air yang jernih dapat dipisahkan dari
padatan yang semula tersuspensi di dalamnya. Cara lain yang lebih cepat dengan
melewatkan air pada sebuah bak dengan kecepatan tertentu sehingga padatan
terpisah dari aliran air tersebut dan jatuh
ke dalam bak pengendap. Kecepatan pengendapan partikel yang terdapat
di air tergantung pada berat jenis, bentuk dan ukuran partikel, viskositas air
dan kecepatan aliran dalam bak pengendap. Pada dasarnya terdapat dua jenis alat
sedimentasi yaitu jenis rectangular
dan jenis circular. Proses
sedimentasi dapat dikelompokkan dalam tiga klasifikasi, bergantung dari sifat
padatan di dalam suspensi:
1.
Discrete (free settling)
Kecepatan pengendapan dari
partikel-partikel discrete adalah
dipegaruhi oleh gravitasi dan gaya geser.
2.
Flocculent
Kecepatan
pengadukan dari partikel-partikel meningkat, dengan setelah adanya
penggabungan diantaranya.
3. Hindered/Zone
settling
Kecepatan
pengendapan dari partikel-partikel di dalam suspensi dengan konsentrasi padatan
melebihi 500 mg/L. (Didit, 2008)
Sedimentasi merupakan peristiwa
turunya partikel-partikel padat yang semula tersebar merata dalam cairan karena
adanya gaya berat, setelah terjadi pengendapan cairan jernih dapat dipisahkan dari zat padat
yang menumpuk di dasar atau biasa disebut dengan pengendapan. Selama proses ini
berlangsung, terdapat tiga gaya
yang berpengaruh :
a.
Gaya Gravitasi
Gaya ini bisa dilihat pada saat
terjadi endapan atau mulai turunya pertikel padatan menuju kedasar tabung untuk
membentuk endapan. Hal ini terjadi karena massa jenis partikel padatan lebih
besar dari massa jenis fluida. Atau dengan kata lain bahwa, pada gaya ini berat
jenis larutan lebih kecil dari berat jenis partikel, sehingga parteikel lebih
cepat mengendap. Pada kondisi ini, sangat dipengaruhi oleh hokum Newton II,
sehingga dapat dituliskan rumusnya sebagai berikut :
Fg = m. g ...…………………………..…………………………….(1)
Keterangan :
Fg= gaya gravitasi (N)
m = massa (Kg)
g = percepatan gravitasi (m/s2)
b.
Gaya Apung
Gaya apung terjadi jika massa jenis
partikel lebih kecil dari massa jenis fluida. Sehingga partikel padatan berada
pada permukaan cairan, maka pengaruh gaya ini dapat dirumuskan sebagai berikut
:
|
Fa
= Fa = ………………………………………….…………..(2)
Keterangan
Fa = gaya apung (N)
r
= densitas (kg/cm3)
g
= percepatan gravitasi (m/s2)
c.
Gaya Dorong
Gaya dorong terjadi pada saat larutan
dipompakan ke dalam tabung klarifier. Larutan ini akan terdorong pada ketinggian
tertentu. Gaya dorong dapat juga kita lihat pada
saat mulai turunya partikel padatan karena adanya gaya
Gravitsi, maka fluida akan memberikan gaya
yang besarnya sama dengan berat padatan itu sendiri. Gaya
inilah yang disebut gaya dorong dan juga gaya yang memiliki arah yang berlawanan dengan gaya gravitasi.
|
2
Keterangan :
Fd = gaya dorong (N)
A = luas (m2)
V= volume (L)
ρ = densitas (kg/L)
Bak sedimentasi umumnya dibangun dari
bahan beton bertulang dengan bentuk lingkaran, bujur sangkar, atau segi empat.
Bak berbentuk lingkaran umumnya berdiameter 10,7 hingga 45,7 meter dan
kedalaman 3 hingga 4,3 meter. Bak berbentuk bujur sangkar umumnya mempunyai
lebar 10 hingga 70 meter dan kedalaman 1,8 hingga 5,8 meter. Bak berbentu segi
empat umumnya mempunyai lebar 1,5 hingga 6 meter, panjang bak sampai 76 meter
dan kedalaman lebih dari 1,8 meter.
Klasifikasi sedimentasi didasarkan
pada konsentrasi partikel dan kemampuan partikel untuk berinteraksi.
Klasifikasi ini dibagi dalam empat tipe :
- Settling tipe I : pengendapan partikel diskrit, partikel mengendap secara individual dan dan tidak ada interaksi antar partikel.
- Settling tipe II : pengendapan partikel flokulen, terjadi interaksi antara partikel sehingga ukuran meningkat dan kecepatan bertambah.
- Settling tipe III : pengendapan pada lumpur biologis, dimana gaya antar partikel saling menahan partikel lainnya untuk mengendap.
- Settling tipe IV : terjadi pemamatan partikel yang telah mengendap yang terjadi karena berat partikel. (Tim laboratorium OTK 1, 2016)
Factor-faktor penting yang
mempengaruhi proses sedimentasi antara lain adalah ukuran partikel padat,
densitas partikel padat, dan kekentalan fluida. Factor-faktor lain yang
pengaruhnya relative kecil antara lain adalah bentuk partikel padat dan
orientasinya, distorsi partikel padat yang bisa berubah bentuk, persinggungan
atau benturan antar partikel padat untuk yang berkonsetrasi tinggi, kedekatan
partikel padat terhadap dinding kolam sedimentasi, dan arus konveksi likuida.
Partikel padat yang berbentuk bola
atau mendekati bola atau mendekati bola akan lebih cepat mengendap apabila
dibandingkan dengan partikel yang berbentuk pipih atau jarum. Partikel yang
diameternya sangat kecil yaitu beberapa micron akan mengendap sangat lambat.
Bila partikel-partikel padat tersebut membentuk folk maka akan mengendap lebih
cepat. Sedimentasi massa partikel padat yang tergumpal atau flok adalah suatu proses
yang sangat kompleks yang melibatkan asusmsi-asumsi perhitungan dalam endapan
setelah gumpalan atau flok itu sendiri terendapkan. Lapisan dasar flok ditekan
oleh lapisan flok lainnya yag mengendap diatasnya, dan berlangsung dengan
kekuatan yang lemah. Endapan yang dihasilkan terdiri dari kerapatan atau
densitas yang berbeda. (Sri, 2010)
2.1.1 Proses
pengendapan gravitasi
Partikel – partikel yang lebih berat
dari fluida tempat patikel itu tersuspensi dapat dikeluarkan didalam kotak Pengendap
atau tangki pengendap (Settling Tank) dimana kecepatan fluida
itu cukup kecil dan partikel itu mendapat waktu yang cukup untuk mengendap ke
luar dari suspensi itu akan tetapi, peranti sederhana seperti itu terbatas
kegunaanya karena pemisahanya tidak lengkap disamping memerlukan tenaga kerja
untuk mengeluarkan zat padat yang mengendap dari dasar tangki.
Separator – separator industri hampir
semua mempunyai fasilitas untuk mengeluarkan zat padat yang mengendap pemisahan
itu bisa pula hampir lengkap. Peralatan pengendap yang dapat memisahkan hampir
seluruh partikel dari zat cair dinamakan klarifikator (Clarifier) sedang peranti yang memisahkan zat padat memisahkan zat
padat menjadi dua fraksi disebut klasifikator (Clasifier). Pada kedua alat itu berlaku prinsip sedimentasi yang
sama
2.1.2 Laju Pengendapan
Suatu partikel yang mengendap dalam
air karena adanya gaya gravitasi akan mengalami
percepatan sampai gaya dari tahanan dapat
mengimbangi gaya
gravitasi, setelah terjadi kesetimbangan partikel akan terus mengendap pada
kecepatan kostan yang dikenal sebagai kecepatan akhir atau kecepatan
pengendapan bebas.
Contoh grafik tinggi lumpur (Batas
antara Zone A dan Zone B) Vs waktu ditunjukan pada gambar 1. dan selama tahap
awal pengendapan kecepatanya tetap sebagai mana terlihat pada bagian pertama
kurva itu setelah zat padatnya mengumpul pada Zone D laju pengendapan itu
berkurang dan berangsur-angsur turun hingga mencapai tinggi akhirnya. Titik
kritisnya dicapai pada titik C dalam gambar 1.1
Laju pengendapan lumpur berbeda-beda
satu sama lainnya, demikian pula tinggi relatif berbagai zone
pengendapanya.untuk menentukan karakteristik pengendapanya secara teliti,
setiap lumpur itu harus diperiksa dengan melakukan eksperimen terhadap
masing-masingnya. (Mc Cabe, WL, hal. 424
– 425,1993)
Zo
Laju
tetap
Z Zu
C tinggi patah
tu
waktu . t
grafik 2.1 Laju Sedimentasi
Laju
pengendapan partikel dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Berat jenis air
2. Berat jenis
Partikel Padatan
3. Viskositas air
4. Aliran dalam
bak pengendapan
5. Bentuk dan ukuran
partikel
Berat jenis
fluida lebih besar dari pada berat jenis partikel padatanya, maka laju
pengendapanya lamban. Begitu juga sebaliknya, semakin besar berat jenis
partikel maka laju pengendapanya cepat.
Laju pengendapan
sangat dipengaruhi oleh viskositas dimana viskositas sangat berkaitan erat
dengan suhu yang ada. Bila temperatur tinggi maka viskositas menurun sehingga
bantuk dan ukuran partikel semakin kecil sehingga laju pengendapan cepat.
Aliran dalam bak
pengendapan akan mempengaruhi laju endapan. Pada aliran laminer laju pengendapan
cepat sedangkan pada aliran turbulen laju pengendapan akan sangat terganggu
maka akan sangat lambat mengendap.
2.1.3 Bleaching earth
Beberapa
jenis tanah liat secara alami mempunyai kemampuan absorbsi yang sangat rendah.
Namun setelah dilakukan pengolahan dengan asam – asam mineral seperti H2SO4 atau
HCl, maka akan didapat suatu tanah liat dengan daya pemucat (bleaching) yang
sangat tinggi. Tanah liat yang mengalami pengaktifan disebut activated clay atau
activated bleaching earth atau activated earth (untuk selanjutnya
disebut bleching earth). Proses terhadap Bleaching earth secara
garis besar adalah pemisahan dari air terlarut, pencucian memakai larutan asam
sulfat, penyaringan dan penghalusan. Perlakuan tanah liat dengan asam sulfat
bertujuan untuk memindahkan zat – zat asing yang terkandung dalam tube – tube
kapilernya, sehingga membuat tanah liat tersebut benar – benar porous dan
memperluas permukaannya. Tanah liat yang telah dibersihkan dan dihaluskan dalam
kondisi yang tepat memiliki komposisi utama yaitu SiO2, Al2O3,
terikat serta ion kalsium, magnesium oksida dan besi oksida.Aktivasi dengan
menggunakan asam mineral (H2SO4 atau HCl) akan menimbulkan 3
macam reaksi, yaitu :
1.
Mula – Mula
asam akan melarutkan komponen Fe2O3, Al2O3, CaO dan MgO yang mengisi pori–pori
absorben. Hal ini akn mengakibatkan terbukanya pori–pori yang tertutup sehingga
menambah luas permukaan absorben.
2.
Selanjutnya
ion – ion Ca++
dan Mg++ yang berada di permukaan kristal absorben secara berangsur
– angsur diganti oleh ion H+ dari asam mineral.
3.
Sebagian
ion H+ yang
telah menggantikan ion Ca++ dan Mg++ akan ditukar oleh ion Al+++ yang
telah larut dalam larutan asam.
Bleaching Earth dengan asam mineral Limbah cair hasil dari pengaktifasian atau
pemasakan bleaching earth mengandung bahan – bahan kimia yang terdiri
dari Fe2O3 , Al2O3, CaO
dan MgO yang dilarutkan oleh asam mineral seperti H2SO4 atau
HCl. Garam – garam Fe+++ dan Al+++ biasanya digunakan sebagai koagulan
dalam proses pengolahan aiar bersig maupun air buangan. Keduanya adalah ion
logam yang terhidrolisa. Di dalam ilmu kimia, ion ini biasanya yang berperan
dalam proses koagulasi. Hidrolisa dari ion Fe+++ dan Al+++ dapat
menyebabkan adsorbsi pada permukaan koloid pada proses koagulasi. (Shinta, 2012)
2.2 Proses Koagulasi-Flokulasi
Cara menstabilkan partikel dilakukan dalam dua tahap. Pertama
dengan mengurangi muatan elektrostatis sehingga menurunkan nilai potensial zeta
dari koloid, proses ini lazim disebut sebagai koagulasi. Kedua adalah
memberikan kesempatan kepada partikel untuk saling bertumbukan dan bergabung,
cara ini dapat dilakukan dengan cara pengadukan, dan disebut sebagai flokulasi.
Pengurangan muatan elektris dilakukan dengan menambahkan koagulan
seperti PAC. Di dalam air PAC akan terdisosisi melepaskan kation Al3+
yang akan menurunkan zeta potensial dari partikel. Sehingga gaya tolak-menolak
antar partikel menjadi berkurang, akibatnya penambahan gaya mekanis seperti
pengadukan akan mempermudah terjadinya tumbukan yang akan dilanjutkan dengan
penggabungan partikel-partikel yang akan membentuk flok yang berukuran lebih
besar.
Menurut Von Smoluchowski (Fair, et al, 1968), kecepatan
penggabungan dua partikel dengan diameter berbeda akan sebanding dengan
konsentrasi partikel, gradien kecepatan dan jumlah jari-jari dari partikel yang
bergabung. Koagulasi dan flokulasi adalah proses fisika-kimia dimana diperlukan
energi dan waktu agar proses dapat berlangsung.
Flokulasi merupakan kelanjutan dari proses koagulasi, dimana
mikroflok hasil koagulasi mulai menggumpalkan partikel menjadi flok-flok yang
besar (makroflok) dan dapat diendapkan. Proses penggumpalan ini tergantung dari
waktu dan pengadukan lambat dalam air.
Partikel yang
terflokulasi mempunyai dua karakteristik pengendapan yang penting.
Karakteristik pertama adalah bahwa struktur flok itu sangat rumit. Ikatan
antara partikelnya lemah, dan flok itu mengandung air yang cukup banyak di
dalam strukturnya, maka akan ikut bersama flok itu turun ke bawah, walaupun
pada mulanya flok itu mengendap dalam pengendapan bebas atau terganganggu, dan
persamaan umum pada prinsipnya berlaku namun tidaklah praktis bila kita
menggunakan hukum-hukum pengendapan secara kuantitatif karena diameter dan bentuk flok itu tidak
mudah didefinisikan.
Karakteristik
kedua dari pada pulp yang terfokulasi ialah peliknya mekanisme pengendapanya.
Secara umum riwayat pengendapan suspensi yang terfokulasi adalah sebagai
berikut :
A
A
B B
C
C
D
D
(A) (B) (C) (D) (E)
Gambar 2.1. Sedimentasi Tumpak
Keterangan Gambar
-
Gambar (A) menunjukan suspensi
yang terdistribusi secara seragam didalam zat cair dalam keadaan siap untuk
mengendap.
-
Gambar (B) jika tidak terdapat
pasir dalam campuran itu, zat padat pertama yang menampakan diri ialah endapan
pada dasar bejana pengendap, yang terdiri dari flok yang berasal dari bagian
bawah campuran.zat padat yang berupa flok tergeletak longgar diatas satu sama
lain, membentuk suatu lapisan, yang kita namakan zone D diatas zone D itu
terbentuk lagi lapisan lain yaitu zone C, yang merupakan lapisan transisi,
dimana kandungan zat padatnya bervariasi dari yang seperti pada pulp asal
sampai seperti di dalam zone D. Diatas Zone C terdapat Zone B, yang terdiri
dari suspensi homogen yang konsentrasinya sama dengan pulp asal. Diatas zone B
terdapat lagi zone A yang jika partikel itu telah terflokulasi penuh, merupakan
zat cair jernih.
-
Gambar (C) dalam pulp yang
terflokulasi dengan baik batas antar
zone A dan zone B itu tajam. Jika terdapat pertikel yang teragmolerasi, zone A
itu keruh dan batas antara zone A dan B kabur . dengan adanya pengendapan,
kedalam zone D dan A bertambah, dan tebal zone C tetap, zone B berkurang.
-
Gambar (D) setelah pengendapan
selanjutnya, zone B dan C hilang, dan seluruh zat padat itu akan terdapat pada
zone D.
-
Gambar (E) Sesudah itu efek
lain, yang disebut pemampatan (compresion) berlangsung saat dimana pemampatan
itu bermula disebut titik kritis atau critical
point. Pada pemampatan sebagaian dari zat cair yang tadinya ikut bersama
flok kedalam zone kompresi D akan terperas keluar manakala bobot endapan itu
mengambrukan struktur flok. Selama pemampatan itu berlangsung, sebagian dari
zat cair di dalam flok itu menyembur keluar seperti geiser-geiser kecil, dan
ketebalan zone itu berkurang. Dan akhirnya, bila bobot zat padat itu berkurang.
Dan akhirnya, bila bobot zat padat itu telah mencapai keseimbangan mekanik
dengan kekuatan tekan flok proses pengendapan itu akan berhenti, pada saat ini lumpur
sudah mencapai tinggi akhirnya.
(Mc Cabe, Warren L, hal 423-424, 1990)
Flokulator
yang sering digunakan dalam pengolahan air berdasarkan sumber energi yang
digunakan adalah: hidrolis, pnuematis
dan mekanis. Secara umum flokulator pneumatis dan mekanis lebih fleksibel dalam
power input. Sedangkan flokulator
hidrolis tidak fleksibel dalam power
input, dimana diperlukan lahan yang luas walaupun mempunyai keunggulan pada
sisi yang lain. Energi input dari masing-masing jenis flokulator dihitung
dengan rumus yang berbeda. Harga gradien kecepatan mempunyai jangkauan yang
hampir sama, antara 20 – 70 / detik. Kecepatan aliran bervariasi antara 0,5 –
2,5 fps. Tekanan udara yang dibutuhkan untuk flokulator pneumatis antara 50 –
75 psi.
Pada umumnya flokulasi hidrolis mempunyai kekurangan dalam hal
fleksibilitas pengaturan hf yang diperlukan sebagai energi untuk proses. Selain
itu pada flokulator hidrolis, perbedaan kecepatan aliran yang terjadi pada
bagian tepi dan tengah reaktor sangat besar, sehingga seringkali flok yang
terjadi pecah kembali. Notodarmodjo et al (1998) telah meneliti kemungkinan
penggunaan aliran melalui kerikil sebagai media untuk flokulator dengan hasil
yang sangat baik. Armundito (2000) meneliti lebih jauh kemungkinan penggunaan
media kerikil sebagai flokulator dan memperoleh hasil bahwa ukuran butir
kerikil tidak berpengaruh secara nyata bagi pembentukan flok. (Suprihanto, 2004)
2.2.1
Mekanisme
Koagulasi – Flokulasi
Didalam air, partikel – partikel koloid yang
bermuatan listrik sejenis akan saling tolak menolak sehingga tidak dapat saling
mendekat dan terjadi kondisi yang stabil atau partikel tetap berada di
tempatnya. Pada saat kondisi yang stabil ini tidaklah mungkin terbentuk slurry atau flok. Jika kedalam air
diberikan ion logam yang bermuatan positif, maka muatan positif ini akan
mengurangi gaya tolak menolak antar sesama partikel koloid sehingga tercapai
kondisi yang tidak stabil yang memungkinkan terbentuknya slurry atau flok. Dengan adanya pemberian muatan positif yang
merata maka akan terbentuk slurry
atau flok-flok yang kecil. Agar dapat diendapkan maka flok-flok kecil ini harus
digabungkan sehingga didapatkan flok yang cukup besar dan berat.
Ada kalanya muatan positif yang diberikan tidak
mampu untuk menggabungkan flok–flok kecil tersebut mengalami kondisi restablisasi (kembali menjadi stabil)
sehingga sulit untuk bergabung menjadi flok yang lebih besar. Hal ini dapat
diatasi dengan pemberian floakulan sehingga flok-flok kecil tersebut dapat
diikat oleh floakulan.
2.2.2
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Proses
Koagulasi-Flokulasi
Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses koagulasi dan flokulasi yaitu :
1. Kondisi pH
Kondisi pH air limbah digunakan sebagai indikator keadaan
asam atau basa dimana akan mempengaruhi penggunaan flokulan yang dipilih.
Dengan diketahuinya kondisi pH air buangan, maka koagulan akan dapat bekerja
dengan baik. Adapaun kondisi pH tiap–tiap koagulan tidak sama tergantung dari
sifat dan karateristik koagulan tersebut.
2. Jenis Koagulan dan Flokulan
Jenis koagulan mempunyai karateristik tersendiri. Dengan
penambahan zat pengumpul dalam air yang akan dijernihkan akan terjadi proses
kimia fisika, sehingga akan terbentuk partikel-partikel kecil yang jumlahnya
tergantung pada peubah–peubah terhadap koagulasi tersebut.
3.
Tingkat Kekeruhan Limbah
Proses destabilisasi akan sukar terjadi pada kekeruhan yang
rendah, tetapi mudah terjadi pada tingkat kekeruhan yang tinggi. Demikian pula
halnya untuk proses tumbukan antar partikel yang sulit terjadi pada tingkat
kekeruhan yang rendah.
4.
Waktu Pengadukan
Waktu pengadukan akan berpengaruh terhadap terbentuknya
flok. Semakin lama waktu pengadukan akan mengakibatkan flok yang sudah
terbentuk akan pecah kembali, sedangkan apabila waktu pengadukan lambat, maka
akan mengganggu proses koagulasinya.
5. Waktu Pengendapan
Waktu pengendapan
berpengaruh pada proses sedimentasi limbah. Semakin lama waktu pengendapan,
filtrat yang dihasilkan akan lebih jernih karena flok – flokyang terbentuk
dapat mengendap semua. Waktu pengendapan untuk proses koagulasi-flokulasi
berkisar antara 45 menit sampai 2 jam.
2.2.3
Koagulan
Koagulan adalah zat kimia
yang dapat menggumpalkan partikel-partikel koloid dengan proses koagulasi.
Penambahan koagulan ini akan menyebabkan meningkatnya jumlah ion yang
berlawanan dengan lapisan difusi, sehingga lapisan pelindung diantara koloid
(lapisan difusi) menjadi mengecil (sebagai usaha untuk mengatur penetralan
muatan total).Beberapa jenis bahan yang sering digunakan koagulan antara lain
:Aluminium sulfat atau tawas, Ferro Sulfat ,Ferri clorid, Kapur, Koagulan yang
dipilih dan digunakan adalah limbah cair pemasakan bleaching eart. (Shinta, 2012)
2.3 Pengendapan Partikel Mandiri
Pengendapan sebuah discrete
particle di dalam air hanya dipengaruhi oleh karakteristik air dan partikel
yang bersangkutan dan dapat diterangkan dengan rumus-rumus sederhana dalam
mekanika fluida. Yang dimaksud dengan discrete particle adalah partikel yang
tidak mengalami perubahan bentuk, ukuran maupun berat selama partikel tersebut
mengendap. Proses pengendapan partikel berlangsung semata-mata akibat pengaruh
gaya partikel atau berat sendiri partikel.
Pengendapan akan berlangsung sempurna apabila aliran dalam keadaan
tenang (aliran laminar). Akibat beratnya sendiri, partikel yang mempunyai rapat
masa lebih besar dari rapat masa air akan bergerak vertikal ke bawah. Gerakan
partikel di dalam air yang tenang akan diperlambat oleh gaya hambatan akibat
kekentalan air (drag force) sampai
dicapai suatu keadaan dimana besar gaya hambatan setara dengan gaya berat
efektif partikel di dalam air. Setelah itu gerakan partikel akan berlangsung
secara konstan dan disebut terminal
settling velocity.
Kecepatan pengendapan merupakan cerminan hasil yang terintegrasi
dari ukuran, bentuk, kekasaran permukaan, spesific
gravity, dan viskositas cairan. Gaya berat partikel dalam air (impelling force) merupakan resultant
antara gaya berat partikel dan gaya apung (buoyant
force).
Ws = Fv – Fb………………………………………………………….(5)
dengan :
Ws = gaya
berat efektif partikel dalam air (N)
Fv = gaya
berat partikel (N)
Fb = gaya
apung (N)
Apabila
Fv = ρs
. g . Vp dan Fb = ρv . g . Vp, maka :
Ws = ( ρs – ρw ). g . Vp……………………………………………(6)
dengan :
ρs = rapat massa partikel (Kg/L)
ρw = rapat massa
air (Kg/L)
g =
percepatan grafitasi bumi (m/s2)
Vp =
volume partikel (L)
Gaya hambatan yang dialami selama partikel bergerak di dalam air
dipengaruhi oleh kekasaran, ukuran, bentuk, dan kecepatan gerak partikel serta
rapat masa dan kekentalan air.
Fd = ½ . CD . Ap . ρ . Vs2………………………………………….(7)
dengan :
Fd = gaya hambatan (N)
Ap = luas proyeksi partikel (m)
Vs = kecepatan gerak partikel (m/s)
CD =
koefisien hambatan
Koefisien drag merupakan fungsi dari bentuk partikel dan bilangan
Reynolds (Re). CD = 24/Re
Re = ( dp . ρw . Vs ) / μ………………………………………………(8)
dengan :
dp =
diameter partikel (m)
μ = angka kekentalan dinamis
Angka kekentalan dinamis adalah perkalian antara kekentalan
kinematis dan rapat massa fluida. Koefisien drag tidak dapat dicari secara
analitik apabila nilai Re > 2. Oleh karena itu, koefisien drag ditentukan
dengan penelitian kecepatan pengendapan dalam fluida, yang hasilnya disimpulkan
oleh Rouse (1937) setelah Cd diketahui maka kecepatan pengendapan partikel
berbentuk bola dapat dihitung menggunakan persamaan (2) dan (3). Karena nilai
Re tidak dapat ditentukan lebih dulu maka digunakan skala pembantu yaitu
Ws/ρ
v2.
dengan :
Ws = gaya
berat efektif partikel dalam air (N)
Proses pengendapan berlangsung dengan kecepatan konstan dan keadaan
ini dicapai apabila Ws = FD.
2.4 Pemisahan atas dasar gerakan partikel
melalui fluida
Banyak metode separasi mekanik yang
didasarkan atas gerakan partikel zat padat atau tetesan zat cair melalui fluida
itu mungkin gas atau zat cair dan mungkin berada pada keadaan mengalir atau
keadaan diam. Dalam beberapa situasi, tujuan dari pada proses itu adalah untuk mengeluarkan
partikel dari arus fluida dan untuk mengeluarkan pengotor yang terdapat didalam
fluida atau untuk memulihkan partikel sebagaimana dalam pembersihan udara atau
gas buang terhadap debu dan uap racun atau untuk membuang zat padat dari air
limbah. Dalam soal soal lain, partikel itu sengaja disuspensikan di dalam
fluida supaya dapat dipisahkan menjadi fraksi-fraksi yang berbeda ukuran atau
densitasnya. Fluida itu lalu dipulihkan, kadang-kadang unutk digunakann
kembali, dari partikel yang telah di fraksionasi.
Jelaslah bahwa tiap partikel itu
mulai dari keadaan diam terhadap fluida tempat partikel itu terendam, lalu
bergerak melaui fluida itu karena adanya gaya–gaya luar, gerakan itu dapat
dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama merupakan satu periode singkat dimana
berlangsung percepatan, yaitu selama waktu kecepatan itu meningkat dari nol
sampai kecepatan terminal. Tahap kedua ialah periode dimana partikel itu berada
dalam kecepatan terminalnya.
2.5 Kolam Pengendapan Ideal (ideal settling tank)
Pada kolam pengendapan yang ideal dengan aliran continue, maka
panjang kolam dan waktu tinggal ditentukan sedemikian sehingga semua partikel
yang mempunyai kecepatan pengendapan vt akan mengendap di dasar kolam. Hubungan
antara kecepatan pengandapan, kedalaman air dan waktu tinggal ditunjukkan
dengan rumus :
Vt= D
t
dimana :
Vt =
kecepatan pengandapan (m/s)
D = kedalaman kolam (m)
t = waktu tinggal (s)
Mengingat bahwa ukuran butir partikel di dalam air limbah sangat
bervariasi, maka tidak semua partikel dapat diendapkan di dalam kolam
pengendapan. Dengan demikian hanya partikel yang mempunyai kecepatan
pengendapan sama atau lebih besar dari vt akan tertahan secara sempurna di
dalam kolam pengendapan. Sedang partikel yang mempunyai kecepatan pengendapan
vp yang lebih rendah dari vt akan terbawa aliran.
2.6 Pengendapan dalam
suspensi
Untuk partikel yang mempunyai
diameter kira-kira 2-5 µm (bergantung pada kerapatan partikel serta kerapatan
dan viskositas dari medium pensuspensi), gerak Brown melawan pengendapan sampai
jumlah yang dapat diukur pada temperature kamar dengan mempertahankan bahan
yang terdispersi agar bergerak dalam gerakan yang tidak beraturan. Jari- jari
kritis r, dibawah angka mana partikel tersebut akan dipertahankan dalam
suspense dengan adanya pemboman kinetic partikel-partikel oleh molekul-molekul
dari medium pensuspensi (gerak Brown).
Pengendapan dari partikel-partikel
yang terflokulasi pada waktu menyelidiki pengendapan dalam sistem yang
terflokulasi, diselidiki bahwa flokulat cenderung untuk jatuh bersama-sama,
menghasilkan suatu bahan yang antara endapan dan cairan supernatant. Cairan diatas endapan adalah jernih karena hingga
partikel-partikel kecil yang ada didalam sistem pun akan bergabung dengan
flokulat. Hal ini bukan soal pada suspensi yang mengalami deflokulasi yang
mempunyai suatu jarak ukuran partikel, sehubungan dengan hokum stokes, partikel
yang lebih besar mengendap lebih cepat daripada partikel yang lebih kecil.
Tidak ada batasan jelas terbentuk (jika tidak hanya satu ukuran partikel yang
ada), dan supernatant tetap keruh untuk suatu periode waktu yang cukup lama.
Apakah supernatant itu jernih atau keruh
selama tahap awal dari pengendapan adalah merupakan suatu indikator petunjuk)
yang baik, apakah sistem tersebut mengalami flokulasi atau mengalami
deflokulasi.
Menurut Hiestand laju awal dari
partikel-partikel yang terflokulasi ditentukan oleh ukuran flokulat dan
porositas dari massa agregat. Selanjutya laju bergantung pada proses pemadatan
dan pengaturan kembali dalam endapan tersebut. Istilah endapan (subsidence) seringkali digunakan untuk
menggambarkan pengendapan dalam sistem yang mengalami flokulasi.
Dua parameter yang berguna yang
bisa diturunkan dari penyelidikan sedimentasi (atau lebih tepat endapan) adalah
volume sedimentasi dan derajat flokulasi.
2.7
Koloid
Sistem terdispersi
terdiri dari partikel kecil yang dikenal sebagai fase terdispersi,
terdistribusi ke seluruh medium kontinu atau medium dispersi. Bahan-bahan yang
terdispers bisa mempunyai jangkauan ukuran dari partikel-partikel yang
ukurannya diukur dalam millimeter. Oleh karena itu, cara yang paling mudah
untuk menggolongkan sistem terdispersi adalah berdasarkan garis tengah partikel
rata-rata dari bahan terdispersi. Umumnya dibuat tiga golongan ukuran, yakni :
dispersi molekular, dispersi koloid, dan dispersi kasar. Batas ukuran agak
kabur, tidak ada batas yang jelas antara dispersi molekular dan dispersi koloid
atau antara dispersi koloid dan dispersi kasar. Sebagai contoh, molekul-molekul
makro tertentu, seperti polisakarida, protein, dan polimer umumnya mempunyai
ukuran yang cukup untuk dimasukkan baik dalam dispersi molecular maupun disperse
koloid. Beberapa suspensi dan emulsi bisa mengandung suatu jangkauan ukuran
partikel dari mulai ukuran partikel-partikel kecil yang teletak pada daerah
koloid sampai partikel-partikel yang berukuran besar yang terletak dalam daerah
ukuran partikel-partikel kasar.
Ukuran dan bentuk
partikel koloid. Partikel yang terletak dalam jangkauan ukuran koloid mempunyai
luas permukaan yang sangat besar dibandingkan dengan luas permukaan partikel-partikel
yang lebih besar dengan volume yang sama. Luas permukaan yang besar ini
mengakibatkan sifat-sifat unik dari dari dispersi koloid. Sebagai contoh
platina efektif sebagai katalis hanya bila dalam bentuk koloid sebagai platina
hitam. Ini karena katalis bekerja dengan mengadsorbsi reaktan pada
permukaannya. Oleh karena itu, aktivitas katalis berhubungan dengan luas
permukaan spesifiknya. Warna koloid berhubungan dengan ukuran partikel yang
ada.
Bentuk yang diambil oleh
partikel koloid dalam dispersi adalah penting, karena makin dikembangkan
partikel tesebut, akan makin besar luas permukaan spesifiknya dan akan makin
besar pula kesempatan untuk berkembangnya kekuatan tarik-menarik antara
partikel dari fase terdispersi dan medium dispersi. Suatu partikel koloid akan
mengurangi dan memberikan luas permukaan maksimum. Pada keadaan yang kurang
baik, ia akan menggulung dan mengurangi luas permukaannya. (Alfred, DKK, 1990)
2.8
Aliran fluida dan bilangan Reynold
Reynold mempelajari
kondisi dimana satu jenis aliran berubah menjadi aliran jenis lain, dan
menemukan bahwa kecepatan kritis, dimana aliran laminar berubah menjadi aliran
turbulen, bergantung pada empat buah besaran yaitu : diameter tabung, serta viskositas, densitas
dan kecepatan linear rata-rata zat cair. Lebih jauh, ia menemukan bahwa keempat
factor itu dapat digabung menjadi suatu gugus, dan bahwa perubahan macam aliran
berlangsung pada suatu nilai tertentu gugus itu.
Gugus variabel tanpa
dimensi itu, yang dinamakan angka Reynold (NRE). Gugus ini merupakan
salah satu diantara sejumlah gugus tanpa dimensi, dimana besarnya tidak
bergantung pada satuan yang digunakan, asal saja satuan itu konsisten. (McCabe. 1991).
Aliran fluida pada
hakekatnya dapat dibagi atas 2 jenis yaitu alira eksternal dan aliran internal.
Kedua jenis aliran ini mengalami sifat-sifat fisika dari efek lapisan batas ( boundery layer).
a.
Aliran internal pada hakekatnya
suatu aliran yang dibatasi oleh dinding-dinding sekeliling aliran. Misalnya:
aliran dalam pipa, aliran dalam talang (ducts),
diffuser, dan lain-lain.
b.
Aliran eksternal adalah aliran
yang tidak dibatasi oleh dinding dimana fluida bergerak disekeliling benda
padat dan bergerak dalam fluida yang tidak terbatas. Misalnya: pesawat terbang,
mobil, kereta api/listrik, dan lain-lain.
Ditinjau dari sifat pokok aliran, maka
aliran dapat dibagi atas dua kategori yaitu: aliran laminar dan aliran turbulen
(sifat aliran menurut bilangan Reynolds)
bilangan Reynolds
digunakan untuk membedakan jenis aliran yaitu aliran laminar dan aliran
turbulen. Aliran laminar adalah apabila partikel-pertikel zat cair bergerak
teratur dengan membentuk garis lintasan kontinyu dan tidak saling berpotongan,
sedang pada aliran turbulen partikel-partikel zat cair bergerak tidak teratur
dan garis lintasannya saling berpotongan (terjadi difusi dan penyebaran).
1.
Untuk Re < 2000, maka aliran
fluida bersifat laminar dan untuk Re > 3000, maka alirannya bersifat
turbulen. Untuk daerah yang tidak stabil atau berada antara daerah laminar dan
turbulen, disebut aliran atau daerah transisi.
2.
Aliran turbulen (Re > 3000):
partikel-partikel (massa molar yang kecil) dari fluida bergerak dalam lintasan
yang tidak teratus atau bergerak secara serampangan ke semua arah. Aliran
turbulen terdiri dari suatu massa pusaran dari berbagai ukuran yang terdapt
bersama-sama didalam arus aliran itu. Pusaran-pusaran yang besar selalul
terbentuk secara sinambungan, lalu pisah menjadi pusaran yang lebih kecil, lalu
membuat lagi pusaran-pusaran yang lebih kecil lagi. Akhirnya, pusaran-pusaran
yang paling kecil itu menghilang. Pada suatu waktu tertentu, dan pada volume
tertentu, terdapat suatu spectrum ukuran-pusaran yang cukup luas.
3.
Aliran (kondisi) transisi yaitu
saat aliran akan beralih atau berubah dari kondisi laminar menjadi turbulen
2000 < Re < 3000
2.9
Bilangan tak berdimensi
1.
Bilangan Reynold
Bilangan Reynold
digunakan untuk mempelajari aliran pipa, gaya angkat dan hambatan pada aerofol,
serta hambatan pada hampir setiap bentuk dalam aliran tak dapat mampat (incompressible). Model ini juga
digunakan untuk mempelajari lapisan batas baik dalam aliran dapat mampat (compressible). Efek-efek viskos dalam
gas dapat dibuatkan modelnya dengan angka-angka atau bilangan Mach yang kurang
dari 0.3 (Ma<0.3) tanpa interferensi dari efek-efek arus yang tak dapat
mampat. Pada bilangan Mach lebih besar dari 0.3 (Ma>0.3) efek-efek
kompresibilitas menjadi lebih berperan sehingga harus dibuatkan modelnya dengan
teliti. Kekasaran permukaan harus dibuat sama agar ketika dimulainya turbulensi
dalam lapisan batas tidak berebeda antara model dan prototip.
2.
Bilangan Froude
Bilangan Froude
digunakan untuk pengukuran hambatan oleh gelombang. Dalam model-model untuk
mempelajari gelombang, kapilaritas mungkin berperan dan peredaman viskos oleh
gelombang juga tidak diperhitungkan secara tepat.
3.
Model Mach
Model match dibuat
untuk mempelajari aliran gas pada angka Mach diatas 0.3 (Ma>0.3). efek-efek
viskos (fenomena Reynold) tidak sepenuhnya hilang, bahkan dalam aliran supersonic,
karena terjadinya interaksi-interaksi kejut dengan lapisan batas dan tebal
daerah kejutnya dipengaruhi oleh angka Reynold. (Abdul, 2012).
BAB III
PROSEDUR PERCOBAAN
3.1 Alat
Gambar
3.1.1 Gambar 3.1.2 Gambar 3.1.3
Gelas
ukur Pipet Volum tangki sedimentasi
Gambar 3.1.4 Gambar 3.1.5 Gambar 3.1.6
Neraca Analitik
Labu Ukur 100 mL Bulb
3.2
Bahan
1. Kapur
(CaCO3)
2. Air
3. NaOH
4. H2SO4
3.3 Cara Kerja
Membuat koagulan seperti NaOH 0.5 N
dan H2SO4 0.5 N masing-masing 500 ml. setelah itu
menimbang CaCO3 sebanyak 250 gr kemudian dilarutkan dalam 20 L air,
memasukkan larutan CaCO3 kedalam kolom sedimentasi. Catat
pengendapan setiap selang waktu 5 menit sampai pengendapan dianggap sempurna.
Ulangi langkah diatas tetapi larutan CaCO3 didalam kolom sedimentasi
ditambahkan dengan koagulan H2SO4 kemudian NaOH 0.5 N.
3.4 Diagram Alir
1.
Membuat koagulan
NaOH
Labu ukur
|
Dihimpitkan dengan aquadest sampai 500 ml
|
H2SO4
Labu ukur
|
Dihimpitkan dengan aquadest sampai 500 ml
|
2.
Sedimentasi
Air 20 L
NaOH
Labu ukur
|
Kolam sedimentasi
|
BAB IV
HASIL PERHITUNGAN DAN
PEMBAHASAN
4.1
Tabel Hasil Perhitungan CaCo3 + H2O
t
(Menit)
|
z (cm)
|
Vs=(z0-zs)/t
|
Cs=Co.z0/(zL+Vs.ts)
|
|
zL
|
zs
|
|||
0
|
130
|
|||
5
|
118
|
12
|
23.6
|
6.88559322
|
10
|
114
|
16
|
11.4
|
7.127192982
|
15
|
113.7
|
16.3
|
7.58
|
7.145998241
|
20
|
113.7
|
16.3
|
5.685
|
7.145998241
|
25
|
113.7
|
16.3
|
4.548
|
7.145998241
|
Pembahasan : Berdasarkan grafik
diatas, dapat diketahui bahwa semakin
banyak konsentransi suspensi (CaC03) maka semakin cepat pula
kecepatan sedimentasinya. Karena CaCO3 bersifat asam yang memiliki
pH < 7 yang sulit untuk terjadinya pengendapan maka ketika direaksikan dengan H2O
akan membentuk reaksi yang sangat kuat sehingga dengan mudah terbentuknya
pengendapan.
4.2 Tabel
hasil Perhitungan CaCO3+H2O+H2SO4
t (Menit)
|
Z (cm)
|
Vs
|
Cs=Co.z0/(zL+Vs.ts)
|
|
zl
|
zs
|
|||
0
|
130
|
|||
5
|
109.5
|
20.5
|
21.9
|
7.420091324
|
10
|
112
|
18
|
11.2
|
7.254464286
|
15
|
113
|
17
|
7.53333333
|
7.190265487
|
20
|
113.6
|
16.4
|
5.68
|
7.152288732
|
25
|
113.6
|
16.4
|
4.544
|
7.152288732
|
30
|
113.6
|
16.4
|
3.78666667
|
7.152288732
|
Pembahasan : Berdasarkan grafik
diatas, dapat diketahui bahwa semakin banyak konsentransi suspense (CaC03)
ditambahkan koagulan (H2SO4)
maka semakin cepat kecepatan sedimentasinya. Karena H2SO4
bersifat asam yang memiliki pH < 7
sulit untuk terjadinya flok maka H2SO4
akan mengikat molekul H2O yang dapat membantu terjadinya proses pengendapan
4.3 Hasil
Perhitungan dan Pembahasan CaCO3+H2O+NaOH
t (ment)
|
Z (cm)
|
Vs
|
Cs=Co.z0/(zL+Vs.ts)
|
|
zl
|
zs
|
|||
0
|
130
|
-
|
-
|
-
|
5
|
118
|
12
|
23.6
|
6.88559322
|
10
|
115.1
|
14.9
|
11.51
|
7.059079062
|
15
|
113.3
|
16.7
|
7.55333333
|
7.171226831
|
20
|
114.5
|
15.5
|
5.725
|
7.096069869
|
25
|
115
|
15
|
4.6
|
7.065217391
|
30
|
115.1
|
14.9
|
3.83666667
|
7.059079062
|
35
|
115.1
|
14.9
|
3.28857143
|
7.059079062
|
40
|
115.1
|
14.9
|
2.8775
|
7.059079062
|
Pembahasan : Berdasarkan grafik
diatas, dapat diketahui bahwa semakin banyak konsentransi suspensi (CaC03)
ditambahkan koagulan (NaOH) maka semakin cepat pula kecepatan sedimentasinya.
Karena NaOH bersifat basa yang memiliki pH > 7 maka lebih muda mengikat molekul
air sehingga akan terbentuk senyawa logam netral yang tidak bisa larut dan
mempunyai volume yang besar sehingga bisa diendapkan.
Berdasarkan grafik diatas, dapat kita lihat bahwa ketika
adanya penambahan koagulan dapat
mempercepat proses sedimentasi. Karena dalam percobaan ini, kita
menggunakan koagulan yang berbeda yaitu NaOH dan H2SO4.
Berdasarkan grafik antara keduanya, dapat diketahui bahwa
penambahan NaOH lebih cepat menghasilkan pengendapan dibanding dengan
penambahan H2SO4, karena
titik didih dari NaOH lebih besar yaitu 3180C
dari titik didih H2SO4
yaitu 3370C, densitas dari NaOH juga lebih besar (2,13 gr/cm3)
dari densitas H2SO4
(1,84 gr/cm3), dimana semakin besar densitas maka semakin cepat
terjadinya proses sedimentasi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
analisa yang kami buat, kami dapat menyimpulkan
bahwa:
1.
Semakin besar
konsentrasi suspensi, maka semakin cepat terjadi laju pengendapan.
2.
Konsentarsi suspense
CaCO3 sebelum penambahan koagulan kecepatan sedimentasinya lambat.
3.
Konsentrasi suspense
CaCO3 dengan penambahan koagulan NaOH kecepatan sedimentasinya lebih cepat dibandingkan dengan penambahan
koagulan H2SO4.
5.2 Saran
Sebaiknya dalam laboratorium OTK ini dibuatkan tempat
penampungan air dan saluran pembuangan suspensi, supaya dapat mempermudah
proses paktek.